Kata-kata yang kita ucapkan memiliki kekuatan. Konon katanya, orang yang selalu menjaga ucapan itu orang yang disenangi para dewa. Saat orang ini menemui kesulitan dalam hidup, ada saja jalan keluar dari masalah.
Pernah kan kita saat sedang menemui jalan buntu, eh tiba-tiba ada orang yang muncul membantu atau ada bantuan yang kita pun tidak tahu asalnya dari mana. Gitu maksudnya.
Orang yang selaras kata dan perbuatan itu lebih mudah jalan hidupnya. Logikanya, kita pun senang bertemu dengan orang yang pegang janji. Berjanji dengan orang seperti ini membawa kedamaian, karena kita tau yang terucap pasti akan terlaksana.
Memang ada juga orang yang beranggapan, ” Lidah bisa berputar. Apa saja boleh kita ucapkan,” Memang, kita bisa mengucapkan apa saja tapi pikirkan juga dampak ucapan kita. Jangan sampai membawa petaka bagi orang lain.
Saya pernah berjumpa dengan orang yang berprinsip seperti ini, yang sampai usia tuanya banyak dihindari anak cucunya. Ibu ini bercerita, ia paham bahasa suku tertentu dan suatu ketika, cucu perempuannya dihamili oleh pria dari suku yang kebetulan bahasa sukunya dipahami ibu tua ini.
Kerabat pria mengatakan kalau cucunya itu akan diminta tinggal di rumah lain setelah menikah karena dianggap bukan perempuan baik, sudah hamil duluan. Ucapan kerabat pria ini disampaikan ke anaknya yang merupakan orang tua cucu perempuan yang sudah hamil duluan. Kebetulan perangai orangtuanya ini “sok andal deking”, maklumlah di era Presiden kedua, memang banyak orang begitu.
Keluarga pria ditangkap dan dipenjarakan. Nah, kalau sudah begitu, siapa yang mau menikahi cucunya lagi? Anak dari cucunya, cicit si ibu ini lahir tanpa ayah dan di dalam kartu keluarga, yang harusnya adalah nenek si anak menjadi orangtua anak ini. Kacau balau kan.
Kita mesti menjaga lidah walau kita fasih berbahasa, ” Kita bilang ubi, sampai ke dia sudah jadi kolak,” gitu lah yang terjadi. Yang kita bilang A, sampai ke telinga teman, sudah jadi Z, banyak dapat siraman bumbu.
